Artikel


PILKADA LANGSUNG UNTUK PENGUATAN MASYARAKAT MADANI
OLEH
MUNIR HUSEN*
Buah reformasi politik yang diperjuangkan oleh para seluruh elemen mahasiwa telah menunjukkan bukti, bahwa napas demokrasi tengah memperoleh ruang yang signifikan dalam ranah politk termasuk politik lokal. Dalam situasi yang sama, rakyat semakin berdaya menghadapi kelakuan elite yang cendrung distortif. Reformasi telah membuka jalan bagi tegaknya demokrasi yang sekian lama tersumbat , tentu saja reformasi merupakan jawaban atas politik hegemonic orde baru. Selama massa orde baru, rakyat tidak memiliki kedaulatan secara utuh. Bentuk demokrasi yang dipilih adalah demokrasi keterwakilan. Demokrasi keterwakilan yakni sebuah demokrasi yang prinsipnya setiap orang dapat ikut serta dalam proses pembuatan keputusan politik. Artinya mendelegasikan kedaulatan dan kekuasaannya kepada para elite politik. Merekalah (elite politik) yang mendesain institusi pemerintahan, menjadikan satu dengan yang lain bertanggungjawab, melakukan tawar menawar, memobilisasi hubungan     dan merespon opini publik. Tetapi hak itu dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat. Sah-sah  saja demokrasi perwakilan yang kita anut mengingat demokrasi langssung mustahil dilakukan sepenuhnya terutama dalam fungsi pembuatan peraturan perundangan, oleh karena jumlah anak negeri ini demikian besar. Kita tidak akan pernah ada tempat bagi ratusan juta orang Indonesia untuk berkumpul bersama dalam pembuatan peraturan perundangan. Bahkan selama pemerintahan orde baru, demokrasi perwakilan sebatas fungsi pembuatan peraturan perundangan saja yang dilakukan oleh lembaga perwakilan. Memilih presiden/wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apa yang terlihat ketika semua pelaksanaan demokrasi itu diserahkan kepada lembaga perwakilan rakyat. Dalam soal pemilihan presiden/wakil presiden misalnya memperlihatkan, presiden/wakil presiden diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sedangkan komposisi keanggotaan MPR sebagian besar diangkat berdasarkan KEPUTUSAN PRESIDEN. Kemudian terjadilah prinsip angkat mengangkat. Keadaan seperti ini tidak ada jaminan obyektivitas penilaian MPR terhadap pertanggungjawaban presiden. Belum lagi tindakan represivitas presiden terhadap MPR oleh partai politik. Tradisi politik yang  tidak sehat tersebut hakekatnya tidak memberikan sumbangan bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Demikian pula pemilihan Kepala Daerah, ketika itu DPRD hanya bertugas memilih dan mengajukan calon kepala daerah kepada presiden melalui Menteri Daalam Negeri dan mekanisme pemilihan wajib direstui pusat, siapa sesungguhnya yang mendapat restu dari pusat dalam hal ini presiden untuk diplot menjadi calon jadi. Proses demikian memperlihatkan, bahwa cara pemilihan seorang presiden/wakilil presiden, seorang kepala daerah hanya sebatas permainan yang kurang fair dan tidak konstitusional, yang terjadi kemudian pemilihan kepala daerah adalah wakil pemerintahan pusat di daerah. Rakyat daerah sekalipun memiliki DPRD, tetapi fungsi perwakilan itu tidak mencerminkan aspirasi rakyat daerah dan era ORBA ini berakhir pada pertengahan Mei 1998.
                Walaupun rezim orde baru telah berakhir tidak serta merta terjadi perubahan sistim ketatanegaraan secara drastis upaya pemerintah pusat untuk tetap melakukan intervensi kekuasaannya di daerah masih terlihat dengan jelas. Misalnya belum dilepaskannya ketika itu hak rakyat daerah untuk memilih kepala daerah secara langsung, yang baru diperbaiki oleh pusat adalah baru sebatas kwalitas proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Karena kewenangan pemilihan kepala daerah itu masih tetap berada di DPRD, dan pusat hanya melengkapi proses legitimasi yuridisnya semata. Tetapi proses dinamika perpolitiakn di Indonesia terus berkembang dan desakan dari daerah cukup kuat dan gagasan otonomi daerah bergulir seperti air bah dan rakyat daerah, bahwa dengan penyelenggaraan otonomi daerah juga dipandang sebagai langkag maju demokrasi langsung yang sudah lama menjadi keinginan rakyat.Karena rakyat ikut berpartisipasi langsung untuk menggunakan hak-hak pilitik secara bebas dalam bingkai konstitusional.Yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintaha itu adalah memilih kepala daerah secara langsung. Sehingga rakyat daerah bukan lagi sebagai penggembira terhadap masa depan daerahnya. Sejalan dengan konsep otoniomi daerah Warsito Utomomenyetakan bahwa otonomi daerah pada hakeketnya atau maknanya adalah demokrasi ditingkat local atau demokrasi di daerah. Memang dalam penyelenggaraan  otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan (Drs.Nikthoh Arfawiue Kurdi SH. M.Hum, Teori Negara Hukum 2005:133). Hal ini pun dikatakan oleh Aristoteles, bahwa suatu pemerintahan dikatakan demokratis, apabila ia diselenggarakan oleh banyak orang dan kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk orang banyak. Dari pandangan aristoteles ini, rakyat memperoleh kekuasaan untuk memilih kepala daerahnya adalah dalam rangka kepentingan daerahnya. Demikan pula kepala daerah terpilih mengabdikan dirinya untuk kepentingan daerah. Sejalan dengan hal yang terurai diatas, sebuah pemerintahan  yang legitimite adalah pemerintah yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sebab dalam sistim demokrasi rakyat memegang kedaulatan, maka sikap, tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah sedapat mungkin mencerminkan keinginan mayoritas kepentingan rakyat yang telah memberikan legitimasi politiknya. Dalam kaitannya dengan ini, Bigham Powel. Jr mengemukakan political performance sebagai indikator kehidupan politik yang demokratis adalah :pertama, legitimasi pemerintah berdasarkan atas klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyat. Artinya klaim pemerintah untuk patuh kepada aturan hukum didadsarkan pada penekanann bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat. Kedua, pengaturan yang mengorganisir bargaining untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Ketiga, sebagaian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan baik sebagai pemilih maupun sebagai calon menduduki jabatan pentung. Keempat, Penduduk memilih secara rahasia dan tanpa paksa. Kelima, Masyarakat dan pimpinan meniukmati hak dasar seperti, kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi, kebebasan pers(Syarufuddin Jurdi, Islam Maasyarakat Madani dan Demokrasi di Bima, 2007:20).
                Dengan demikian, maka peran hokum dalam bentuk peraturan perundangan penyelenggara pemilihan kepala daerah secara langsung amat penting dalam rangka apa yang boleh/apa yang tidak boleh /apa yang seharusnya, serta kesediaan warga untuk mematuhinya. Oleh karena peraturan perundangan itu tidak banyak berarti jika tidak dijunjung oleh kemauan oranguntuk mematuhinya.Kemauan penegah hokum untuk menjadikan peraturan perundangan out ditaati. Yang kerseluruhannyaterbebas dari persolalan-persolan ke4pentingan individu maupun kelompok sesaat. Demikian pula kesantunan prilaku para elit dalam proses pemilihan kepala dawerah secara langsung ini juga amat penting dalam membentuk budaya prilaku yang demokratis. Karena itu pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini tidak sebatas kita mengandalkan keberlakuan undang-undang semata. Serkali lagi bangunaan munculnya tradisi-tradisi politik yang sebat dan bermartabat dari para elit amat menentukan. Hasil akhir penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung ini hakekatnya adalah dalam rangka melakukan proses pendidikan politk yang demokratios bagi rakyat, yang ujung akhirnya adalah munculnya keadilan dan kesejahteraan   bagi masyarakatbdidaerah. Keterlibatan langsung rakyat daerah untuk memilih kepala daerah hakekatnya rakyat memiliki hak yang sama untuk menentukan masa depan daerahnya. Karena merewka adalah pemilik kedaulatan. Dan hasil akhirnya menuju pada pembentukan masyarakat yang kuat, demokratis, bermoral atau berkeadaban.
* Penulis: Dosen  STIH Muhammadiyah Bima.
Selengkapnya...


G
u
e
s
t


B
o
o
k
Mw STIH BIMA yg Seperti ini..??
Klik di Membuat Show Hide floating STIH BIMA

Total Kunjungan

Arsip Blog